Perantauan. Yang
terlintas dibenak anda kala mendengar kata perantauan mungkin adalah sendiri,
jauh dari orang tua, jauh dari rumah. Yap, itulah yang saya rasakan dan saya
alami sekarang. Hidup sendiri diperantauan tanpa siapa-siapa dan hidup dalam
keadaan pas-pasan. Dulu saya beranggapan mungkin lebih enak bila hidup sendiri,
mengatur diri sendiri dan jauh dari orang tua yang selalu menuntut dan
menasehati. Dan yang jelas hidup sendiri untuk belajar lebih mandiri. Tapi
ternyata saya salah, hidup diluar tanpa orang tua terasa sangat sulit, apalagi
berhubungan dengan masalah finansial. Awalnya saya merasa biasa saja, tapi
lama-kelamaan saya sangat merindukan orang tua.
Pengalaman sembilan bulan diperantauan
menempa saya menjadi pribadi yang kuat, kuat dalam arti tidak mudah mengeluh
dikala susah. Saya jadi membayangkan ketika saya pertama kali berada di kota
asing ini, berjuang sendiri untuk tetap semangat meneruskan cita-cita. Tapi
disini saya belajar, untuk tidak menangis dikala jatuh, susah, dan terpuruk.
Memang, kadang rasa putus asa dan menyerah itu sempat terlintas. Tetapi hal itu
membuat saya semakin berpikir matang dan melihat segala sesuatu dari sudut
pandang yang berbeda.
Kesulitan-kesulitan yang saya hadapi
membuat saya banyak belajar, belajar tentang arti bersyukur dan bersyukur.
Belajar mensyukuri yang saya miliki saat ini. Dikota yang jauh ini, saya
belajar arti bersyukur atas karunia waktu. Saat ini waktu adalah karunia yang
sangat berharga, dimana saya hanya memiliki 2 kali 24 jam dalam seminggu waktu
senggang. Belum lagi jika digunakan untuk kegitan luar kampus dan tugas-tugas
menumpuk yang menunggu untuk dikerjakan.
Bersyukur dengan
waktu memacu saya untuk lebih mengoptimalkan waktu yang ada dengan hal-hal yang
bermanfaat. Selain itu, bersyukur dengan nikmat berupa rejeki makanan amat saya
rasakan. Bandingkan bila dulu kita hanya tahu makan, tanpa memikirkan bagaimana
oprang tua kita bersusah payah agar makanan itu bisa terhidang diatas meja
sebagai santapan kita. Tetapi kini saya merasakan sendiri bagaimana lelahnya
bekerja demi sesuap nasi, bahkan kadang untuk mendapatkan sesuatu saya harus
berpikir dua kali. Saya jadi teringat sebuah wisdom word yang saya temple di
kubikel kerja “Sebelum kita mengeluh
tentang rasa dari makanan, pikirkan tentang seseorang yang tidak punya apapun
untuk dimakan”. Kalimat tersebut membuat saya berpikir suatu kondisi yang
pernah menimpa saya dan mungkin banyak orang lainnya yang tidak punya apapun
untuk dimakan.
Diperantauan juga membuat saya lebih
manghargai sebuah persahabatan. Dimana tak seorang pun anggota keluarga yang
saya punyai, maka teman-teman dan sahabatlah yang yang menjadi sandaran dikala
sedih dan sakit. Saya bersyukur diberikan kesempatan untuk berada jauh dari
kehidupan saya selama ini, ternyata Tuhan memberikan sisi positif dalam hidup
saya yakni tentang besarnya arti bersyukur.
Thanks to My Mother, You are my inspiring in life
To mt dady I love very much, I’ll graduation for
proud you
My sister and brother, my all family
*** *** ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar